Kang Sook duduk diam dengan tubuh gemetar.
Di lain sisi, Hyo Seon duduk dan berpikir. "Kadang-kadang, ia pergi menemui pria
itu." Hyo Seon teringat Dae Sung menulis di jurnal hariannya. "Jika ia sedih, ia
akan pulang ke rumah setelah mabuk-mabukan."
Hyo Seon bangkit dari duduknya dengan perasaan marah. "Aku ingin bertanya kenapa
ia bersikap seperti itu, tapi aku terlalu takut hingga tidak bisa membuka
mulutku." tulis Dae Sung dalam jurnalnya."
Hyo Seon menutup telinganya, berusaha agar kata-kata itu tidak terngiang di
telinganya. Tapi tetap saja tidak bisa, perasaan marah sudah benar-benar
berkuasa.
Hyo Seon menuju kamar Kang Sook dan membuka pintu dengan kasar. Kang Sook
terkejut dan takut karena Hyo Seon menatapnya dengan pandangan benci dan marah
luar biasa. Ia membuka lemari Kang Sook dan mengeluarkan semua pakaian dan
barang-barang disana. Ia melempar tas ke arah Kang Sook, mengusirnya "Keluar!"
jerit Hyo Seon. Itulah yang ingin dilakukan Hyo Seon. Tapi ia belum bisa
melakukannya. Hyo Seon hanya bisa berdiri diam di depan kamar Kang Sook selama
beberapa saat, kemudian berjalan kembali ke ke kamarnya.
Hyo Seon meraih bingkai yang berisi fotonya dan Dae Sung, kemudian memeluknya
erat. "Ayah, karena kau tidak bisa bertanya padanya, maka aku yang akan bertanya."
katanya. "Bagaimana bisa ia melakukan hal itu padamu. Sebagai manusia...
bagaimana bisa... ia melakukan itu pada seorang ayah sebaik dirimu? Aku ingin
mengusirnya keluar, tapi... aku tidak bisa, Ayah. Aku tidak bisa melenyapkan dia
semudah itu. Aku tidak bisa menyelesaikan semuanya semudah itu. Ayah, tunggu dan
lihat saja apa yang akan kulakukan padanya."
Keesokkan harinya, Kang Sook datang ke kamar Eun Jo, namun Eun Jo sudah pergi.
Hyo Seon menatapnya tajam. "Kau akan bicara pada Kakak?" tanyanya. "Kau akan
mengatakan padanya bahwa kau ketahuan olehku? Tidak perlu." Ia diam sejenak. "I-BU,
jika Kakak tahu, aku takut semuanya menjadi rumit. Untuk saat ini, tetaplah diam."
Ki Hoon berusaha keras memperbaiki kondisi perusahaan. Ia bicara dengan berbagai
pihak, termasuk pihak penyewa alat. Walaupun orang dari pihak tersebut kelihatan
enggan, tapi Ki Hoon tidak mau menyerah (bahkan cenderung memaksa).
Hyo Seon meminta Eun Jo pergi ke Perusahaan Hong untuk bertemu dengan Ki Jung. "Sepertinya
ia sangat tertarik padamu dan penelitianmu." katanya.
Eun Jo diam.
Hyo Seon mengubat topik pembicaraan. "Apakah kau benar-benar tidak memiliki
sanak saudara yang bernama Jang Taek Geum? Ibu tidak pernah membicarakannya."
"Tidak." jawab Eun Jo. "Aku sudah mengatakan padamu bahwa kami tidak memiliki
sanak saudara."
"Begitukah?" tanya Hyo Seon dengan mata berkaca-kaca, menatap Eun Jo lekat-lekat.
Akhirnya Eun Jo bersedia menemui Ki Jung. "Aku ingin tahu apa yang dipikirkannya."
katanya.
"Pergilah sendiri." kata Hyo Seon, tanpa memandang Eun Jo. "Aku ingin bersama
ibu. Ibu kehilangan ayah dengan tiba-tiba. Aku ingin menemaninya."
Eun Jo menatap Hyo Seon tajam, merasakan sesuatu yang berbeda.
"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya Hyo Seon. "Kalau kau ingin bersama ibu,
aku yang akan melakukan pekerjaanmu." Ia diam sebentar. "Habiskan makan siangmu.
Jangan sampai kau kelaparan, agar kau tidak pingsan lagi. Kau kelihatan kurus
dari hari ke hari, karena itulah kau jatuh pingsan." Sambil berkata itu, Hyo
Seon menunduk, menahan tangisnya. Ia lalu berjalan pergi.
Mendengar perkataan yo Seon membuat Eun Jo merasa tidak tenang. Ia menelepon
ibunya di rumah, tapi ibunya tidak mengangkat.
Ketika Jung Woo sedang membersikan gentong anggur di ruang penyimpanan, Eun Jo
masuk. "Paman Jang tidak boleh datang kesini." katanya.
"Jangan cemas." kata Jung Woo. "Ia tidak akan kembali. Aku memintanya agar tidak
kemari. Jika ia mengalami masalah, jangan hubungi ibumu , tapi bicara padaku."
Kang Sook membuat Kimbab di dapur. Kimbab adalah makanan khas korea. Mendadak
Hyo Seon masuk dan memakan Kimbab buatannya. Kang Sook terkejut.
"Hmm, enak." kata Hyo Seon. "Kenapa kau membuat Kimbab?"
"Joon Soo ingin memakannya." jawab Kang Sook. "Aku akan menyuapinya begitu ia
pulang dari TK."
"Suruh saja bibi dan nenek yang membuat sisanya." ujar Hyo Seon, sembari minum.
"Pergilah bersamaku untuk menjemput Joon Soo."
Kang Sook memandang Hyo Seon dengan curiga. "Untuk apa?" tanyanya. "Bus sekolah
akan mengantarnya pulang."
Ponsel Hyo Seon berdering. "Nenek! Aku belum sempat meneleponmu." jawab Hyo Seon.
"Bu? Kenapa dengan ibu? Aku tidak tahu apa yang ingin kau katakan, tapi tolong
jangan dikatakan, Nek." Hyo Seon menutup telepon dan mengajak ibunya berangkat
menjemput Joon Soo.
Kang Sook menuruti Hyo Seon dan pergi menjemput Joon Soo. Dari belakang, Hyo
Seon memandang Kang Sook dengan pandangan benci. Entah apa alasan Hyo Seon,
namun tiba-tiba ia menggandengan lengan Kang Sook. Kang Sook terkejut.
"Kenapa ia belum keluar juga?" tanya Hyo Seon ceria.
Kang Sook tidak menjawab. Ketika Kang Sook sedang tidak melihatnya, sikap ceria
Hyo Seon berubah menjadi sikap penuh kebencian.
Ki Hoon menemui kakaknya, Ki Jung, di perusahaan. "Seberapa jauh kau akan
bertindak?" tanyanya.
"Aku juga tidak tahu." jawab Ki Jung tenang. "Maafkan aku."
"Apa kau akan seperti ini hingga akhir?"
"Aku akan seperti ini hingga akhir." jawab Ki Jung tanpa memandang Ki Hoon.
"Baiklah." ujar Ki Hoon. "Aku bukan tidak memiliki rencana."
"Aku tidak tahu maksudmu, tapi cepat dari sini." kata Ki Jung dingin. "Aku
sedang menunggu seorang tamu. Aku yakin kau tidak ingin bertemu dengannya. Benar,
bukan?" Ki Jung bicara dengan sekretarisnya di telepon. "Kapan Goo Eun Jo datang
datang?" tanyanya.
Ki Hoon terkejut.
Jung Woo mengantar Eun Jo ke Perusahaan Hong. "Aku akan berada dekat sini."
katanya. "Telepon aku jika sudah selesai."
"Ya." jawab Eun Jo seraya turun dari mobil.
Eun Jo menekan tombol elevator.
Di saat yang sama, Ki Hoon sedang berada di elevator menuju lantai dasar.
Pintu elevator terbuka. Ki Hoon terkejut melihat Eun Jo. Tapi saat itu Eun Jo
menunduk sehingga ia tidak melihat Ki Hoon.
Masih dengan pandangan mata ke arah lantai, Eun Jo masuk ke dalam elevator
sementara Ki Hoon berjalan keluar.
"Perusahaan yang luar biasa seperti Perusahaan Anggur Dae Sung pergi ke Jepang
dan membuat kontrak dengan Jepang, itu sangat disayangkan." kata Ki Jung. "Perusahaanku
lebih baik dibandingkan perusahaan manapun di Jepang."
"Karena itukah kau mencuri kontrak kami dengan mereka?" tanya Eun Jo dingin. "Karena
perusahaanmu lebih baik dibandingkan perusahaan Jepang?"
"Aku akan membantumu agar berhasil dalam membuat ragi baru." kata Ki Jung. "Kita
juga bisa mempertahankan nama baik Perusahaan Anggur Dae Sung. Aku juga sangat
menghormati seseorang yang sangat biasa seperti Goo Dae Sung."
"Kau... ingin mengambil alih Perusahaan Anggur Dae Sung." kata Eun Jo.
"Aku tidak akan mengambilnya dengan cuma-cuma."
"Terima kasih." kata Eun Jo, menatap Ki Jung tajam. "Aku tidak tahu kalau
Perusahaan Dae Sung begitu bernilai sehingga kau ingin membelinya. Karena
perusahaan terbesar di Korea begitu menginginkan Perusahaan Anggur Dae Sung, aku
baru menyadari bahwa Perusahaan Dae Sung sangatlah berharga. Terima kasih banyak.
Perbincangan denganmu membuatku memiliki kekuatan lagi. Dan aku akan
mengingatnya. Semua yang kau lakukan pada kami, aku akan terus mengingatnya. Aku
akan membuatmu membayar semua itu. Tunggu saja."
Eun Jo bangkit dan berjalan keluar ruangan. Ki Jung tersenyum sinis.
Kang Sook dan Hyo Seon menunggui Joon Soo bermain di taman.
"Ibu, ayo kita buat foto keluarga." kata Hyo Seon, tersenyum. "Ibu, aku, Eun Jo
dan Joon Soo. Kita tidak punya foto keluarga. Seharusnya kita buat sebelum ayah
meninggal."
Kang Sook memandang Hyo Seon dengan bingung.
"Kita pasang foto itu di dinding." kata Hyo Seon. "Di kamarmu, di kamarku dan di
kamar Eun Jo."
Hyo Seon berlari mendekati Joon Soo ketika Joon Soo bermain di tempat berbahaya.
"Joon Soo, turun! Disana berbahaya!"
Kang Sook berpikir dalam hati. "Gadis ini menantangku." pikirnya. "Ia berani
menunjukkan taringnya pada aku, orang yang tidak pernah takut pada Tuhan. Gadis
ini... aku takut padanya lebih dari rasa takutku pada iblis."
Hyo Seon tertawa, bermain bersama Joon Soo. Ia menoleh untuk melihat ibunya,
tapi ibunya sudah tidak ada lagi disana.
Kang Sook berjalan cepat, melarikan diri.
Joon Soo dan Hyo Seon pulang ke rumah, namun Kang Sook tidak ada disana. Seluruh
isi kamar Kang Sook berantakan. Hyo Seon menggeram marah dan bergegas mengejar
Kang Sook.
Kang Sook duduk di halte bus. Ia teringat saat dulu Dae Sung mengejar dan
memeluknya. Kang Sook menangis seorang diri disana.
"Wanita yang kotor." pikir Kang Sook dalam hati. "Kang Sook, wanita yang sangat
kotor. Aku adalah wanita yang paling kotor. Kini aku tertangkap. Tuhan, terima
kasih karena telah membuatku merasakan perasaan ini."
Akhirnya bus muncul. Kang Sook bangkit dari duduknya.
"Berhenti!" teriak Hyo Seon dari jauh, mencoba berlari secepat mungkin.
Kang Sook menoleh dan melihat Hyo Seon dengan takut. Ia bergegas naik ke bus dan
memegangi tasnya erat.
Hyo Seon terus mengejar. Ia melepas sepatu heelsnya dan berlari sekuat tenaga,
bertelanjang kaki. "Kau tidak boleh pergi!" teriaknya. "Siapa yang mengizinkanmu
pergi?!"
Karena melihat Hyo Seon mengejar, supir bus menghentikan laju busnya.
Hyo Seon naik ke dalam bus dan memaksa Kang Sook turun.
Walaupun sudah turun dari bus, Kang Sook tetap mencoba kabur. Hyo Seon
mengejarnya.
"Lepaskan aku!" teriak Kang Sook.
Hyo Seon menarik Kang Sook dan merebut tasnya.
"Berikan tasku!" teriak Kang Sook. Ia terjatuh terguling-guling di tanah. Hyo
Seon tidak mau melepaskannya. "Lepaskan aku, Penyihir! Lepaskan!"
"Kemana kau akan pergi?" tanya Hyo Seon dengan nada mengancam. "Kau tidak akan
bisa pergi. Sampai kau mati, kau akan menderita karena aku, Ibu. Jika aku ingin
kau pergi, maka aku yang akan mengusirmu. Kau pikir aku akan membiarkanmu lepas
begitu saja?"
"Caci maki saja aku!" teriak Kang Sook. "Panggil aku wanita jalang! Kenapa kau
tersenyum seperti itu dan memanggilku ibu?! Kau 100 kali lebih menakutkan dari
pada aku! Kau tahu itu?!"
"Jaga ucapanmu, Ibu." kata Hyo Seon tajam. "Seseorang mungkin saja mendengar.
Semua ini hanya kau dan aku yang boleh tahu." seru Hyo Seon, menegaskan. "Aku
bahkan tidak ingin lagit tahu. Jadi tutup mulutmu."
"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu?" tanya Kang Sook, ketakutan. "Darimana
kau belajar menjadi seperti itu? Kutuk saja aku!"
"Jika bukan karena Joon Soo, aku pasti sudah melakukan itu!" teriak Hyo Seon. "Adikku,
Joon Soo! Putra ayahku, Joon Soo! Bagaimana mungkin aku menghina PUTRA AYAHKU?
Haruskah aku meludahi wajah Joon Soo dan memanggil itu penyihir jahat?"
"Katakan! Katakan!" teriak Kang Sook.
"Bagaimana mungkin aku meludahi wajah ayahku?!"
Kang Sook menangis. Ia melihat kaki Hyo Seon yang berdarah dan hendak
membantunya. "Apa yang harus kulakukan?" tangisnya.
"Jangan sentuh aku!" bentak Hyo Seon. "Jangan katakan kau menyesal karena aku
tidak akan mempercayaimu lagi. Orang yang seharusnya kau mintai maaf sudah
meninggal. Hiduplah seperti penjahat selamanya! Kau pikir aku akan memaafkanmu?!
Kau pikir aku akan membiarkanmu hidup tenang?!" Hyo Seon menangis histeris.
Kang Sook dan Hyo Seon berjalan kembali menuju ke rumah. Hyo Seon berjalan
terseok-seok karena kakinya terluka parah.
Kang Sook melihat kakinya dengan iba. Ia jongkok dan menyuruh Hyo Seon naik ke
punggungnya. "Naik." katanya. "Naik kau, Gadis jahat."
Kang Sook menggendong Hyo Seon pulang. Hyo Seon mencoba menahan tangis.
Eun Jo memerintahkan Jung Woo membawa anggur Dae Sung dan menyebarkannya di kota.
Ia ingin agar para konsumen tidak melupakan mereka.
Eun Jo berniat kembali ke lab, namun Jung Woo melarangnya. "Dengarkan saja aku
dan cepat pergi." katanya tegas.
Ketika Eun Jo hendak pergi, Ki Hoon datang. Eun Jo menatapnya dengan marah
karena seharian Ki Hoon tidak terlihat.
"Ayo kita masuk." ajak Ki Hoon. "Ada yang ingin kubicarakan."
"Apa kau berencana membayar hutangmu dengan bersikap seperti ini?" tanya Eun Jo
sinis. "Orang seperti apa kau? Apa yang kau pikirkan? Aku tidak butuh orang
sepertimu. Serahkan surat pengunduran dirimu."
"Apa yang ingin kukatakan adalah mengenai masalah pembuatan anggur." kata Ki
Hoon.
Ki Hoon berkata bahwa ia mencari dan berhasil menemukan alat yang sama dengan
yang ada di Jepang, namun belum berhasil mendapatkan kontrak penyewaan alat. "Mereka
juga berada dalam situasi sulit." katanya. "Pertama, biaya sangat mahal. Aku
akan menghitung biaya dengan rinci dan melakukan negosiasi dengan mereka."
Diam-diam, Jung Woo mencuri dengar pembicaraan mereka dari luar.
"Yang kedua, mereka telah menemukan cara pembuatan ragi seperti yang kau lakukan."
tambah Ki Hoon. "Walaupun tidak dalam waktu dekat, tapi kemungkinan kau akan
bekerja sama dengan mereka."
"Lalu yang ketiga?"
"Setelah musim panas berakhir, aku harus pindah ke perusahaan itu." jawab Ki
Hoon. "Direktur yang kutemui adalah kakak kelasku saat sekolah. Ia mengatakan
bahwa ia membutuhkan aku. Dan aku setuju."
"Kau.. akan pergi?" tanya Eun Jo, terpukul. "Kau mengatakan akan tinggal di
Perusahaan Dae Sung."
"Ya, karena itulah sebelum aku pergi, aku ingin melakukan yang terbaik.
Percayalah padaku."
Ki Hoon berjalan keluar. Jung Woo menatap Eun Jo dari luar dengan cemas.
Selama satu jam, Eun Jo hanya duduk diam, tidak bergerak.
"Ini sudah satu jam." kata Jung Woo, cemas. "Sampai kapan kau akan seperti ini."
Eun Jo bercerita pada Jung Woo bahwa dulu ia selalu hidup tidak tenang. Ia hidup
setiap hari dengan mendengar pria bertengkar, memaki dan membentak-bentak ibunya.
"Tapi suatu hari, aku berhenti mendengar suara itu." katanya. Tapi ia tidak
percaya dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan musnah dan suara itu
pasti akan datang lagi. "Karena jika aku percaya dan kemudian dikhianati, akulah
satu-satunya orang yang akan merasa terluka."
Jung Woo mendengarkan dengan perhatian.
"Aku selalu senang jika bangun di pagi hari." kata Eun Jo. "Aku selalu ingin
tidur lebih cepat, karena jika aku tidur, aku akan bangun di pagi hari. Tidur
dan bangun di bagi hari. Terus seperti itu, memulai hari seperti laki-laki itu.
Setiap kali aku menoleh, aku selalu merasa nyaman. Aku tidak meminta banyak dari
Tuhan. Kapanpun dan kemanapun aku pergi, jika laki-laki itu ada disana, aku
sudah merasa puas. Melihatnya membuatku senang. Aku puas hanya dengan itu. Tapi...
apakah permintaan itu terlalu berlebihan? Aku hanya ingin melihatnya. Tapi ia
mengatakan padaku akan pergi lagi. Ia akan pergi lagi. Hidup adalah sampah."
"Haruskan aku.... membuatnya agar tidak pergi?" tanya Jung Woo.
"Bisakah kau melakukan itu untukku?" tanya Eun Jo, mendongak menatap Jung Woo.
Jung Woo menghapus air mata Eun Jo. "Jangan menangis."
"Jika ia pergi kali ini, mungkin ia tidak akan kembali." tangis Eun Jo. "Jika ia
tidak kembali, maka ia tidak akan bisa pergi. Itu bagus. Itu sangat bagus, Jung
Woo."
Eun Jo pulang ke rumah dan langsung mendengar suara teriakan Hyo Seon, "Aku
tidak mau!"
"Diam." kata Kang Sook, mencoba mengobati kaki Hyo Seon.
Hyo Seon mendorong Kang Sook. "Jangan sentuh aku."
"Jika kau tidak mau ke rumah sakit, paling tidak obati lukamu." kata Kang Sook.
"Bagaimana kau bisa berjalan?"
"Jika aku tidak bisa berjalan, itu urusanku!" teriak Hyo Seon, mendorong Kang
Sook dengan karas hingga terjatuh ke lantai.
Eun Jo masuk ke kamar Hyo Seon. "Ada apa ini?" tanyanya.
"Kakiku terluka, jadi aku mengoleskan obat." jawab Hyo Seon. "Tapi ibu cara
mengoleskannya membuatku sakit." Ia berpaling pada Kang Sook dengan sinis. "Lakukan
pelan-pelan ibu. Aku kesakitan."
Kang Sook mengobati kaki Hyo Seon. Setelah Eun Jo keluar, Hyo Seon mengempaskan
tangan Kang Sook dari kakinya.
Keesokkan harinya saat sarapan, Hyo Seon kelihatan tidak sehat. Ia memasukkan
banyak sekali garam ke supnya. Kang Sook dan Eun Jo menatapnya dengan heran.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Eun Jo.
"Aku memasukkan garam." jawab Hyo Seon datar.
Eun Jo mencicipi sup Hyo Seon. Sup itu sangat asin. "Kau tidak bisa merasakan
asin jadi menambahkan banyak garam?"
"Ini tidak asin sama sekali." kata Hyo Seon.
"Apakah kau kena flu?" tanya Eun Jo. "Saat kau kena flu, kau tidak bisa
merasakan apa-apa."
"Tidak." jawab Hyo Seon datar.
"Apa kau benar-benar tidak apa-apa?" tanya Eun Jo.
"Ya." jawab Hyo Seon.
Eun Jo menyentuh kening Hyo Seon. Ternyata demam.
Eun Jo menarik Hyo Seon ke kamar dan memaksanya tidur.
"Aku tidak apa-apa!" seru Hyo Seon, menolak berbaring di ranjang.
"Diam!" seru Eun Jo. "Demammu mungkin sudah lebih dari 40 derajat!"
Kang Sook membawakan ember dan handuk kecil untuk mengompres Hyo Seon.
Eun Jo meminta ibunya bertanya pada kakek dan jika perlu, membawa Hyo Seon ke
rumah sakit.
"Aku mengerti." kata Kang Sook. "Pergilah bekerja."
"Jangan cemas." kata Eun Jo dengan kaku. "Masalah di perusahaan akan membaik."
"Benarkah?" tanya Hyo Seon.
"Ya." jawab Eun Jo. "Kita mungkin akan mendapat pinjaman alat."
Setelah Eun Jo pergi, Hyo Seon melempar kompres dan bangkit dari ranjang. Kang
Sook mendorongnya kembali ke tempat tidur dengan paksa. "Walaupun kau sakit, kau
tetap akan bersikap seperti ini?"
"Ya!" jawab Hyo Seon.
Kang Sook duduk di tepi ranjang. "Baru pertama ini dalam hidupku aku melihat
sesuatu sepertimu." katanya. "Aku telah melakukan banyak kesalahan. Tidak ada
hukuman yang pantas kuterima selain ini."
Hyo Seon berusaha terlihat kuat walaupun kondisinya parah. "Kau belum melihat
yang terburuk." katanya.
Kang Sook tertawa pahit.
Eun Jo datang ke perusahaan. Disana, ia melihat Ki Hoon dan seorang wanita
sedang minum anggur bersama dan tertawa-tawa. Eun Jo hanya melihat mereka dengan
pahit.
"Siapa wanita itu?" tanya Eun Jo pada Jung Woo.
"Aku tidak tahu." jawab Jung Woo.
Eun Jo masuk ke kantornya. Tidak lama kemudian, ia melihat Ki Hoon mengantar
wanita itu pergi dengan bergandengan tangan.
Setelah wanita tersebut pergi, Ki Hoon masuk ke ruangan Eun Jo dan menyerahkan
dokumen perincian biaya.
"Kakak kelasku datang untuk melihat-lihat." kata Ki Hoon. Rupanya wanita tadi
adalah direktur yang diceritakan Ki Hoon. "Dia menyukai tempat ini."
"Kakak kelas yang memintamu keluar?" tanya Eun Jo. "Ia banyak tertawa."
"Ya." ujar Ki Hoon setuju.
"Dan kau menirunya dengan baik." tambah Eun Jo sinis.
"Ya. Semua orang yang berada didekatnya akan tertawa." jawab Ki Hoon.
Eun Jo bangkit dari duduknya dan beranjak pergi. "Setelah ayah Hyo Seon
meninggal, kau tetap tinggal disini karena aku dan Hyo Seon, bukan?" tanyanya
dingin. "Kau sudah lama menunggu kesempatan kerja yang lebih baik, bukan?
Selamat. Semuanya berjalan dengan baik."
"Ya. Terima kasih." jawab Ki Hoon.
Setelah mengantar kakek pergi, Kang Sook memeriksa Hyo Seon di kamarnya. Hyo
Seon sedang tertidur, namun ia mengigau. "Kau tidak bisa melarikan diri.. kau
tidak bisa lari..." gumam Hyo Seon dalam tidurnya.
Kang Sook kembali ke kamarnya dan menatap foto Dae Sung. "Apakah kau sedang
menghukumku?" tanyanya. "Kau dan putrimu adalah orang terburuk yang pernah
kutemui."
Ki Jung mendapatkan laporan bahwa Perusahaan Anggur Dae Sung telah berhasil
mendapatkan mesin dan tempat untuk menjual anggur produksi mereka.
Ki Jung terkejut. "Dimana?" tanyanya.
"Ki Hoon membujuk Miura. Dan ia berhasil. Rasa anggur buatan Perusahaaan Dae
Sung lebih baik dibandingkan rasa anggur buatan Perusahaan Hong." kata Tuan Park.
Ki Jung sangat terpukul.
Setelah melaporkan hal itu, Tuan Park memberikan surat pengunduran diri pada Ki
Jung.
Setelah menerima telepon yang berisi informasi, Dong Soo bergegas menelepon Eun
Jo.
"Masalah perusahaan di Jepang saat itu ada sangkut pautnya dnegan Perusahaan
Hong." kata Dong Soo.
"Perusahaan Hong?"
"Ya." jawab Dong Soo. "Mereka menekan kontrak dan negosiasi dengan Perusahaan
Hong. Dan ada satu hal lagi yang aneh. Hong Ki Hoon ternyata adalah putra bungsu
Presiden Perusahaan Hong."
Informasi itu membuat Eun Jo sangat terpukul.
Ki Hoon datang ke pabrik dengan senyum bahagia tersungging. Dengan ceria, ia
menunjukkan majalah dengan cover Dae Sung pada Eun Jo. "Semua sudah beres, Eun
Jo." katanya.
Eun Jo hanya diam, menatap Ki Hoon tajam.
credit to princess-chocolates.blogspot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar